Teori
Belajar
(Behaviorisme,
Konstraktivistik, Humanistik)
A. Behaviorisme
1. Pengertian
Behavioristik
Behaviorisme
adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan
oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat
diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi
yang diinginkan.
Hukuman
kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak
benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Pendidikan
behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan
dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli
yang menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku
yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.
Premis
dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus
respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar
behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah
laku yang dapat dilihat. Hasil belajar diperoleh dari proses penguatan atas
respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah
satu teori belajar behavioristik adalah teori classical conditioning dari
Pavlov yang didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorng
serta gerak refleks setelah menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan
berperan penting dalam mengkondisikan munculnya respons yang diharapkan. Jika
penguatan tidak dimunculkan, dan stimulus hanya ditampilkan sendiri, maka
respons terkondisi akan menurun dan atau menghilang. Namun, suatu saat respons
tersebut dapat muncul kembali.
Sementara
itu, connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan proses
coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar akan semakin
diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak
benar akan menghilang. Akibat menyenangkan dari suatu respons akan memperkuat
kemungkinan munculnya respons. Respons yang benar diperoleh dari proses yang
berulang kali yang dapat terjadi hanya jika siswa dalam keadaan siap.
Teori
behaviorism dari Watson menyatakan bahwa stimulus dan respons yang menjadi
konsep dasar dalam teori perilaku haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati. Interaksi stimulus dan respons merupakan proses pengkondisian yang
akan terjadi berulang-ulang untuk mencapai hasil yang cukup kompleks.
2. Ciri-ciri
Teori Behaviorisme
Ciri
dari teori behavioristik adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil,
bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan
reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah
munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini
berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan
tingkahl laku adalah hasil belajar.
Dalam
hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori
behavioris. Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk
memahami materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau
situasi. Little tanggung jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai
pendidikannya sendiri.
3. Prinsip
dasar Behaviorisme
Ø
Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan
dari jiwa atau mental yang abstrak
Ø
Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo
problem untuk sciene, harus dihindari.
Ø
Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya
subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
Ø
Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh
para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan
akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan
mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt
behavior tetap terjadi.
Ø
Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat
positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
Ø
Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam
dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.
4. Analisis
tentang behaviorisme
Kaum
behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang
pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka
behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan
menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu.
Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana
sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan
teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti
Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori
behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus
dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses
belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner
dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut
dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar
untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut
Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
·
Pengaruh hukuman terhadap perubahan
tingkah laku sangat bersifat sementara;
·
Dampak psikologis yang buruk mungkin
akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung
lama;
·
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk
mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman.
Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain
yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner
lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif
tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon
yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum
karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan
untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah,
sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
5. Aplikasi
Teori behaviorisme dalam pembelajaran
Aliran psikologi
belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori
behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak
pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti,
tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga
belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah
ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna
yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam
pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan
motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar
tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar.
Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal
yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati
kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori
behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak
yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan
seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang
jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran
menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan
belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi
atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan
pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper
and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya
bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi
belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Ada beberapa tokoh
teori behavioristik. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah
Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas
karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam
pembelajaran.
6. Tokoh-tokoh
dalam teori Behaviorisme
·
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah
laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,
atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme
sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut
pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada
tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2)
hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
·
Teori Belajar Menurut Watson
Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur.
·
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark
Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah
laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup.
Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan)
dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah
laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
(Bell, Gredler, 1991).
·
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas
belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran
utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari.
Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan
oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
·
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep
yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun
lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang
terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan
tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh
sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu,
karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu
dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon
tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Aliran
psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon
atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
B. Konstruktivistik
Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar
merupakan usaha memberi makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui
asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya.
Proses belajar sebagai usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui
proes asimilasi dan akomdasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang
menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konsytruktivistik
yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri, kegaiata pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan
agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Konstruktivisme merupakan teori belajar dari piaget.
Konstruktivisme juga bagian dari teori kognitif (Muchith, 2008:71). Teori
konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan abad 20
(Sanjaya,2009:123). Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar yang memiliki
posisi filosofis sebesar strategi pendidikan. Konstruktivisme sangat
berpengaruh di bidang pendidikan, dan memunculkan metode dan strategi mengajar
baru (Muijs dan Reynolds, 2008:95).
1. Teori
Belajar Konstruktivistik menurut Ahli
·
Teori Belajar Kontruktivisme Jean Piaget
Jean
piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat kontruktivisme, yang
teori pengetahuannya dikenal dengan adaptasi kognitif. Manusia berhapadan
dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapi
secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkankan skema
pikirannya lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan
menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut.
Piaget
(1967, 1970) mengembangkan konsep dan metode teori dasar untuk mengkaji proses
kognitif. Teori dan penelitian Piaget (1967) mengenai perkembangan kognitif
menyarankan bahwa anak-anak tumbuh melalui beberapa tingkatan (stages) yang
berbeda dalam perkembangan kognitif dan bayi sampai dewasa. Menurut Piaget
tingkat pertama perkembangan kognitif membangun fondasi untuk perkembangan
konsepual dalam tindakan, dimulai dengan tindakan sensori motorik dan refleksi.
Tingkatan selanjutnya membangun tingkat kognisi yang lebih tinggi pada skema
yang terbentuk sebelumnya. Piaget menawarkan statement ringkas pada teorinya
tentang meaning making: “otak mengorganisasi dunia dengan mengorganisasi
dirinya”. (Piaget, 1937/1971, hlm.311). (Robert, 2004:70).
Selain
itu, Piaget juga berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil
sudah memiliki kemampuan untuk menngkontruksi pengetahuannya sendiri.
Pengethuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi
pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui
pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. pengethauan
tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan (Sanjaya,
2009:124).
Menurut
Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang
dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian
antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis
pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika
skema mngisap, menatap, menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak,
maka segala sesuatu yang dialami anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Saat
struktur berubah maka anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang
berbeda dari lingklungan fisik. Skema yang dimaksud oleh Piaget dalam hal ini
adalah potensi umum untuk melakukan satu kelompok prilaku. Skema adalah istilah
yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skema dapat dianggap sebagai elemen
dalam struktur kognitif organisme. Skemata (istilah jamak dari skema) yang ada
dalam organisme akan menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik
(Hergenhan dan Olson, 2008: 314-315).
Jelas,
jika asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tak akan ada
perkembangan intelektual sebab organisme hanya akan mengasimilasikan
pengalamnnya ke dalam struktur kognitif. Namun, proses penting kedua
menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual yaitu accomodation
(akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif.
Setiap
pengalaman yang dialami seseorang akan melibatkan asimilasi dan akomodasi.
kejadian-kejadian yang berkoresponden dengan skemata oragnisme membutuhkan
akomodasi. Jadi, semua pengalaman melibatkan dua proses yang sama-sama penting:
pengenalan atau mengetahui, yang berhubungan dengan asimilasi dan akomodasi,
yang menghasilkan modifikasi struktur kognitif. modifikasi ini dapat disamakan
dengan proses belajar. dengan kata lain, kita merespon dunia berdasarkan
pengalaman yang kita alami sebelaumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan
perubahan dalam struktur kogniti (akomodasi). Akomodasi karenanya menyediakan
sarana utama bagi perkembangan intelektual.
·
Jhon Dewey dan Von Graselfeld.
Jhon
Dewey dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B.
Innes (2004:1) bahwa “Constructivist views of learning include a range of
theories that share the general perspective that knowledge is constructed by
learners rather than transmitted to learners. Most of these theories trace
their philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa pandangan
penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian teori yang
membagi perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan
ditransfer ke pembelajar. Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat
Jhon Dewey.
Dalam
hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes (2004:1) bahwa“Constructivist
views of learning include a range of theories that share the general
perspective that knowledge is constructed by learners rather than transmitted
to learners. Most of these theories trace their philosophical roots to John
Dewey”.Maksudnya adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai
belajar meliputi serangkaian teori yang membagi perespektif umum bahwa
pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke pembelajar.
Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Dewey
menjelaskan bahwa manusia tidak selayaknya dibagi ke dalam dua bagian, satunya
emotional dan yang lainnya intelektual—yang satunya materi nyata, lainnya
imajinatif. Pembagian seperti ini sesungguhnya seringkali membangun, tetapi hal
itu selalu karena metode yang salah dalam pendidikan. Sebenarnya dan biasanya,
personalitas berkerja sebagai keseluruhan. Tidak ada integrasi karakter dan
otak kecuali ada penyatuan intelektual dan emosional, makna dan nilai,
kenyataan dan imajinasi yang berjalan diluar kenyataan menuju kecendrungan
terhadap kemungkinan yang diinginkan (Robert, 2004: 36)
Dewey
memperkenalkan bahwa struktur internal pengetahuan dan hubungannya dengan
bagian masalah adalah dasar dalam pengembangan pengetahuan yang berguna.
Orientasi terhadap pembelajaran untuk belajar ketimbang mengumpulkan
pengetahuan difasilitasi dengan memfokuskan tentang apa yang oleh Brown dan
Campione (1996) sebut “big ideas and deep principles” (ide-ide besar dan
prinsip yang dalam)”. Kontruktivisme menyakini bahwa belajar mencakup proses
pengetahuan yang lebih mendalam ketimbang menghafalkan materi. Belajar meliputi
restruktur atau menciptakan keterhubungan dari sistem yang terintegrasi
(misalnya, menciptakan atau memodifikasi skema dengan suatu cara yang memiliki
efek yang kuat tentang apa yang diperhatikan dan dipelajari dari hal tersebut;
Bransford, Frank, Vye & Sherwood, 1989) (Robbert B. Innes, 2004:38)
Prinsip
dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan
dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera
(pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld
(1984), salah satu pendiri gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar
pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu
didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak
memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan
pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita
sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
·
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)
Sebagaimana
dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1)
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan dan 3)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan yang satu daripada yang
lainnya.
Setara
dengan di atas, Budingsih juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang juga
mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan
seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif
yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki
seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang.
Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan
mengembangkan pengetahuan. keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal
juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. pengetahuan yang telah
dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif
dirinya.
Semua
kalangan dari paham konstruktivis menyetujui bahwa pengetahuan secara aktif
dikonstruksi oleh manusia, entah secara individual ataupun dalam kelompok,
bukannya diterima dari sumber natural atau supranatural (atau bahkan dari
seorang professor; Philips 1995). Selain ini, definisi kontruktivisme beragam
menurut permasalahan yang diperdebatkan bersama dengan perubahan konstruktivis.
Bidang perdebatan yang paling dasar dipresentasikan oleh suatu rangkaian dalam
memandang belajar sebagai suatu tindakan instruksi secara individual untuk
melihat belajar sebagai sebuah kontruksi sosial. Rangkaian ini dipusatkan pada
satu posisi yang dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau psikologikal,
yang menggambarkan konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi
dalam mind dari individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut diberlakukan
dengan posisi yang dikenal sebagai “social constructivism or sociocultural
posistion” yang melihat “mind” sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada
social practice of the culture (kenyataan sosial budaya) (Robert, 2004: xiii)
Dengan
demikian, kontruktivisme seperti dikatakan oleh Von Glasefeld adalah salah satu
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan
(kontruksi) kita sendiri. pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan
yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui
kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan sekma yang
diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru. Padangan kontruktivistik
mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi
pengalamnnya. konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana
seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan
keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan
peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah
instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan
dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar
manusia secara individual.
·
Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73)
Paul
Suparno SJ (Muchith, 2008:73) menyatakan bahwa model pembelajaran yang dianggap
tepat menurut teori konstruktivisme adalah model pembelajaran yang demokratis
dan dialogis. Pembelajaran harus memberikan ruang kebebasan kepada siswa untuk
melakukan kritik, memiliki peluang yang luas untuk mengungkapkan ide atau
gagasannya, guru tidak memiliki jiwa otoriter dan diktator.
Dengan
dmemikian secara konseptual, Budiningsih (2005: 58) mengemukakan bahwa belajar
jika dipandang dari segi kognitif, bukan sebagai peroleh informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa melainkan sebagai pemberian
makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proses asimilasi dan akomodasi
yang bermuara kepada oemutakhiran struktur kognitif. Kegiatan belajar lebih
dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari
fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…constructing and
restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a
complex network of increasing conceptual consistency…”. pemberian makna
terhadap objek dan pengalaman oleh dindividu tersebut tidak dilakukan seccara
sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial
yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas.
2. Proses
Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
Menurut cara pandang teori konstruktivisme bahwa
belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari
lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengalaman jika pengetahuan itu
dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Penekanan teori
konstruktivisme bukan pada membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada
proses untuk menemukan teori yang dibangun dari realitas lapangan (Muchith,
2008: 71).
Belajar bukanlah proses tekonologisasi (robot) bagi
siswa, melainkan proses untuk membangun penghayatan terhadap suatu materi yang
disampaikan sehingga proses pembelajaran tidak hanya meyampaikan materi yang
bersifat normatif (tekstual) tetapi juga harus juga menyampaikan materi yang
bersifat kontekstual.
Teori konstruktivisme membawa implikasi dalam
pembelajaran yang harus bersifat kolektif atau kelompok. Proses sosial
masing-masing siswa harus diwujudkan. C. Asri Budiningsih menyatakan bahwa
keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran sosial yang ada pada diri
siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan, terdapat
tata hubungan, tata tingkah laku dan sikap di antara sesama manusia.
konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri
(adaptasi) secara tepat (Muchith, 2008: 72).
Dalam kaitannya dengan ini, Bettencourt (1989)
mengemukakan bahwa ada tiga penekanan dalam teori belajar kontruktivisme yaitu:
·
peran katif siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan secara makna
·
pentingnya membuat kaitan antara gagasan
dalam pengkonstruksian secara bermakna
·
mengaitkan antara gagasan dengan
informasi baru yang diterima
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori
kontruktivisme adalah lebih sebagai fasilitator atau moderator. Artinya guru
bukanlah satu-satunya sumber belajar yang harus selalu ditiru dan segala
ucapandan tindakannya selalu benar, sedang murid sosok manusia yang bodoh,
segala ucapan dan tindakannya tidak selalu dapat dipercaya atau salah. Proses
pembelajaran seperti ini, cendrung menempatkan siswa sebagai sosok manusia yang
pasif, statis dan tidak memiliki kepekaan dalam memahami persoalan (Muchith,
2008:72-73).
Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan
pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat
melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, Sanjaya
(2008: 23-24) berpendapat bahwa ada beberapa yang harus dipahami, khususnya hal-hal
yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber pembelajaran
yaitu:
·
Guru perlu memahami berbagai jenis media
dan sumber belajar beserta fungsi masing-masing media tersebut. Pemahaman akan
fungsi media tersebut diperlukan, belum tentu semua media cocok digunakan untuk
mengajarkan semua semua bahan pelajaran. Setiap media memiliki karakteristik
tersendiri
·
Guru perlu mempunyai keterampilan dalam
merancang suatu media. Dengan perancangan media yang dianggap cocok akan
memudahkan proses pembelajaran, sehingga akan tercapai secara optimal.
·
Guru dituntut untuk mampu
mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan berbagai sumber
belajar.
·
Guru dituntut agar mempunyai kemampuan
dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. Kemampuan berkomunikasi
secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan sehingga dapat
meningkatkan Posisi siswa dalam pembelajaran menurut falsafah atau teori
konstruktivisme adalah siswa harus aktif, kreatif dan kritis. konsekuensi
utamanya guru sebelum memberikan materi pembelajaran harus mengetahui kemampuan
awal siswa, jangan siswa dalam belajar berawal dari pemhaman yang kosong.
Posisi siswa dalam pembelajaran menurut falsafah
atau teori konstruktivisme adalah siswa harus aktif, kreatif dan kritis. konsekuensi
utamanya guru sebelum memberikan materi pembelajaran harus mengetahui kemampuan
awal siswa, jangan siswa dalam belajar berawal dari pemhaman yang kosong.
Peran guru dan siswa dalam pembelajaran
konstruktivtistik harus diubah. Dalam hal ini, guru atau pendidik berperan
sebagai seseorang yang berperan memberdayakan seluruh potensi siswa agar siswa
mampu melaksanakan proses pembelajaran. Guru bertugas tidak mentransferkan
pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan berusaha memberdayakan seluruh potensi
dan sarana yang dapat membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
Menurut Muchith (2008:74) bahwa secara rinci peran
guru perlu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
·
Mampu membangun atau menumbuhkan
semangat atau jiwa kemandirian dengan cara memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengambil inisiatif dalam memahami pengetahuan atau teori;
·
Mampu membangun atau memimbing siswa
dalam memahami pengetahuan dan mampu berprilaku atau bertindak sesuai dengan
kenyataan yang ada dalam realitas masyarakat;
·
mengkondisikan atau mewujudkan sistem
pembelajaran yang mendukung kemudahan belajar bagi siswa sehingga mempunyai
peluang optimal berlatih untuk memperoleh kompetensi.
Sementara
itu, peran siswa menurut pandangan konstruktivisme bahwa siswa dalam proses
pembelajaran harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep
dan memberikan makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Paradigma
konstruktivisme memandang bahwa siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki
kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Siswa dipahami pribadi yang
memiliki kebebasan untuk membangun ide atau gagasan tanpa harus diintervensi
oleh siapapun, siswa diposisikan manusia dewasa yang sudah memiliki modal awal
pengetahuan.
3. Aspek-aspek
Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik
sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of
envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga
aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan
dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau
pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses
kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru
dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi
tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan
skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau
pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru
dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama
sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang
akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang
cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu
kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi
seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka
terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu
maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami
atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses
terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang
(disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu
akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang
ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti
membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan
kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera
setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain
yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori
pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu
o
siswa mencapai keberhasilan dengan baik,
o
siswa mencapai keberhasilan dengan
bantuan,
o
siswa gagal meraih keberhasilan.
Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya
mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke
jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa
pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan
tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan
memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian
itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual
yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para
konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar
gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori
Vygotsky adalah: (1),mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi
social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada
tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development.
Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa
dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan
pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan
interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan
penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi
kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam
konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa
bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut
masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of
proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar
tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam
hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga
interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang
sifatnya kooperatif(cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama
untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas
menurut cooperative learningbertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat
dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal
penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan,
semangar kooperatif dan penataan kelas.
Pengetahuan berjenjang tersebut dapat digambarkan
seperti pada skema berikut:Secara singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat
dikemukakan dalam table berikut ini.
Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran
behavioristik yang dikemukakan oleh Degeng dapat dilihat pada table-tabel
berikut.
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang
belajar dan pembelajaran.
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu
berubah dan tidak menentu.
|
Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
|
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar
adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna
seta menghargai ketidakmenentuan.
|
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar.
|
Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
|
Si belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus
dipahami oleh si belajar.
|
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi
peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna
yang dihasilkan bersifat unik dan individualistic.
|
Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan.
|
Pandangan
Konstruktivistik dan Behavioristik tentang penataan lingkungan belajar
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan,
|
Keteraturan, kepastian, ketertiban
|
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial
dalam lingkungna belajar.
|
Si belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas
dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi
sangat esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin.
|
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan
dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
|
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau
kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
|
Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.
Si belajar adalah subjek yang harus memapu menggunakan kebebasan untuk
melakukan pengaturan diri dalam belajar.
|
Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Si belajar adalah objek yang harus berperilaku sesuai
dengan aturan.
|
Control belajar dipegang oleh si belajar.
|
Control belajar dipegang oleh system yang berada di luar
diri si belajar.
|
Pandangan
Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana
belajar (learn how to learn)
|
Tujuan belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.
|
Pandangan
Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan
secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.
Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni
pertanyaan atau pandangan si belajar.
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer
dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
Pembelajaran menekankan pada proses.
|
Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi
dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks
dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.
Pembelajaran menekankan pada hasil
|
Pandangan
Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif
yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam
konsteks nyata.
Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent,
pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara
memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta
menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad
aketerampilan proses dalam kelompok.
|
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan ‘paper and pencil test’
Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar
menunjukkan bahwa si-belajar telah menyelesaikan tugas belajar.
Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari
kegiatan pembelajaran, dan biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan
penekanan pada evaluasi individual.
|
4. Rancangan
Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky
yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model
pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge
dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki
terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan
munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi
ini dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran.
Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi
pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada
awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang
akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya
sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam
lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui
diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut
kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak
menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila
gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya.
Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya
melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini,
berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap
orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring
pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan
dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a)
tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang
kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta
untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung
ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt
melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk
menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset,
mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan
mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana
yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha
untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui
diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan
mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk
menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi
internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan
dari gagasan yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan
manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah.
Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai
macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji
penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit
miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau
keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi
miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi
pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar
resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut
tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan
bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
5. Prinsip-prinsip
dalam pengajaran kontruktivisme
Di dalam pendidikan, ide-ide konstruktivis
diterjemahkan sebagai berarti bahwa semua pelajar benar-benar mengkonstruksikan
pengetahuan untuk dirinya sendir, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap
oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan mempelajari sesuatu yang
sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan, dan bahwa sebagai guru kita
tidak akan dapat memastikan bahwa murid-murid kita akan belajar (Muijs dan
Reynolds, 2008:97).
Selanjutnya Muijs dan Reynolds mengemukakan bahwa
murid adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi.
Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif.
Pelajar secara aktif mengkonstrukikan belajarnya daru berbagai macam input yang
diterimanya. Ini menyiratkan bahwa belajar harus bersikap aktif agar dapat
belajar secara efektif. belajar adalah tentang membantu murid untuk
mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang “mendapatkan jawaban yang
benar” karena dengan cara seperti ini murid dilatih untuk mendapatkan jawaban
yang benar tanpa benar-benar memahami konsepnya.
Anak-anak belajar paling baik dengan menyelesaikan
berbagai konflik kognitif (konflik dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain)
melalui pengalaman, refleksi dan metakognisi (Beyer, 1985)
Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna.
murid secara aktif berusaha mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru
mestinya berusaha mengkonstruksi berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide
besar eksplorasi yang memungkinkan murid untuk mengkonstruksi makna
Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat
individual semata. Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui
interaksi dengan teman sebaya, guru, orang tua, dan sebagainya. Dengan demikian
yang terbaik adalah mengkonstruksikan siatuasi belajar secara sosial, dengan
mendorong kerja dan diskusi kelompok
Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa murid
secara individual dan kolektif mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru
harus memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori
belajar, sehinggga mereka dapat menilai secara akurat belajar seperti apa yang
dapat terjadi
Di samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan.
Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara abstrak, tetapi sealalu dalam
hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
Belajar secara betul-betul mendalam berarti
mengkonstruksikan pengetahuan secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan
menengok kembali materi yang kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu
topik ke topik lain. Murid hanya dapat mengkonstruksikan makna bila mereka
dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya
Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan
memungkinkan pelajar untuk menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman
realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman
yang lebih dalam dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi
ciri pendekatan-pendekatan mengajar lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini juga
membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan
hands-on daripada tekxbook.
Sementara itu, Muchith (2008:76) membuat skema
perbandingan antara pembelajaran tradisional dan pembelajaran konstruktivistik
sebagai berikut:
·
Pembelajaran tradisional
v Pembelajaran
konstruktivistik
o
penyajian kurikukum bersifat induktif
(disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan)
o
Penyajian kurikulum menggunakan
pendekatan deduktif (disajikan melalui keseluruhan menuju bagian-bagian)
o
Pembelajaran berjalan secara rutinitas,
formalitas dan baku. lebih didasarkan pada kurikulum yang bersifat formalistik
o
Pemebalajaran didesain dalam suasana
yang memberikan kebebasan siswa untuk mengekspresikan idea tau gagasannya
o
Kegiatan kurikuler lebih banyak
berorientasi pada buku pegangan/teks yang dimiliki sekolah/guru
o
Kegiatan kurikuler lebih banyak
dikaitkan dengan realitas dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan kurikuler atau
pembelajaran cenderung menggunakan model kooperatif (kerjasama
o
Peserta yang belajar lebih dipandang
sebagai objek yang tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Asumsi ini akhirnya
melahirkan pembelajaran hanya sekedar menyampaikan materi kepada siswa. Aspek
pemahaman mudah dinafikkan oleh guru
o
Peserta didik dipahami sebaagi individu
yang memiliki potensi untuk mengembangkan materi pelajaran
o
Penilaian atau tes belajar dipandang
sebagai bagian dari proses yang tidak terpisahkan dari pembelajaran dan sering
kali dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing
o
Penilaian atau tes hasil belajar
dilakukan secara progresif dan melalui penilaian karya siswa. Dalam konteks
sekarang biasa disebut test fortofolio
o
Pembelajaran hanya memiliki target
menghabiskan materi pelajaran, kurang memperhatikan kualitas pemahaman siswa
terhadap materi yang disampaikan
o
Pembelajaran lebih didasarkan atas
proses, sehingga siswa-siswi banyak belajar dan bekerja di dalam kelompok
(kolektif).
Selain
itu, Brooks, JG et.al (1993) mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran
dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat
diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
Kedua, Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua
prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif
dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan
melalui lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih
spesifik menatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila
belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena
itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu
dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut.
Dalam
kaitannya dengan ini juga, Duffy dan Cunningham (1996) mengemukakan sejumlah
aspek dalam pembelajaran berdasarkan teori konstruktivis yaitu:
o
siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan
cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki;
o
pembelajaran menjadi lebih bermakna
karena siswanya mengerti
o
Strategi siswa lebih bernilai
o
siswa mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya
Oleh
karena itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang
sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuam awal
tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk
itu, guru dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam
belajar. guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah
yang sama dan sesuai dengan kemampuannya.
6. Aplikasi
teori konstruktivisme dalam pembelajaran
Konstruktivisme adalah proses membangun atau
menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman.
Penerapan siswa didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui
pengalaman nyata.
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pengajaran
yang menekankan peran aktif pembelajar dalam membangun pemahaman dan membuat
makna terhadap informasi (Woolfolk, 2003),; para pembelajar konsrtruksi ilmu
pengetahuan saat mereka berusaha untuk memberikan makna terhadap lingkungan
mereka (McCown, driscoll & Roop, 1995);dan pembelajaran yang terjadi ketika
para pembelajar secara aktif terlibat di dalam situasi yang secara kolaboratif
meliputi merumuskan masalah, menjelaskan penomena, mengemukakan isu-isu yang
kompleks, atau memecahkan masalah (Gagnon & Colley, 2001).
Dengan demikian, Donald mengemukana bahwa
“Constructivism is a way of teaching and learning that intends to maximize
student understanding”. Maksudnya, kontruktivisme adalah suatu cara dalam
pengajaran dan pembelajaran yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan pemahaman
siswa.
Tujuan dari kontruktivisme ini, sebagaimana
dikatakatan oleh Donald berikut: “Purpose of constructivist teaching and
learning is enable to students to acquire information in ways that make that
information most readily understood and usable”. Maksudnya tujuan pengajaran
dan pembelajaran konstruktivis adalah memampukan siswa untuk memperoleh
informasi dengan cara-cara yang membauat informasi tersebut sangat mudah
dipahami dan dapat digunakan.
Untuk menciptakan aktivitas belajar semakin dipahami
dan berguna, para penganut konstruktivis telah mengumpulkan sejumlah ide dan
membawa mereka bersama untuk membentuk suatu mosaik. Donald, (2006:256)
mengungkapkan ide-ide tersebut diantaranya meliputi:
Ø a)
pembelajaran aktif (ketika siswa secara langsung terlibat dalam menemukan
sesuatu untuk mereka sendiri) adalah cocok untuk pembelajaran yang pasif
(ketika siswa adalah penerima informasi yang dipresentasikan oleh guru);
Ø b)
pembelajar seharusnya terlibat dalam aktivitas yang diciptakan dan nyata, yaitu
tugas-tugas yang mereka hadapi seharusnya konkret jika tida abstrak, nyata
bukan simbolik;
Ø c)
aktivitas belajar seharusnya menarik dan menantang;
Ø d)
pembelajar seharusnya mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah
miliki melalui bridging.
Ø e)
pembelajar seharusnya merefleksikan atau memikirkan apa yang dipelajari;
Ø f)
pembelajaran terjadi paling baik dalam komunitas pembelajar (leaners community)
yaitu kelompok atau situasi social;
Ø g)
jika bukan memperentasikan informasi kepada pembelajar, guru memfasilitasi
penyatuannya;
Ø h)
guru harus memberikan pembelajar bantuan atau scaffolding yang mungkin
dibutuhkan oleh mereka untuk maju.
Pandangan
konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna oleh
siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada
pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai usaha pemberian makna
oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proes asimilasi dan akomdasi, akan
membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur
kognitifnya. Guru-guru konsytruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan
diri manusia/siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata
pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi
pengetahuan oleh siswa secara optimal. Oleh karena itu, karakteristik yang
perlu dilakukan adalah:
v Membebaskan
siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah
ditetapkan, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya
secara lebih luas
v Menempatkan
siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara
ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut,
kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan
v Guru
bersama-sama dengan siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandanagan tentang kebenaran yang
datangnya dari berbagai innterpretasi
v guru
mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang
komoleks, sukar dipahami, tidak teratur.
7. Contoh Pembelajaran
Konstruktivistik
Berikut ini adalah
contoh pembelajaran biologi. Alternatif rancangan proses pembelajaran ini dapat
saja disempurnakan dan disesuaikan dengan kondisi daerah dan keadaan siswa di
kelas Bapak dan Ibu Guru. Langkah-langkah proses pembelajarannya adalah sebagai
berikut:
·
Pada tahap awal, Guru mengajukan masalah yang akan dibahas pada
pertemuan tersebut, semisal tentang “sistem reproduksi” dengan menuliskan
masalah pada papan tulis, di transparansi, ataupun di kertas peraga.
·
Guru bertanya kepada para siswa, apakah objek yang dibahas pada
sistem reproduksi? Jawaban yang diinginkan adalah bagaimanakah sistem
reproduksi berlangsung, baik itu sistem reproduksi vegetatif maupun sistem
reproduksi generatif. Guru lalu menggambar di papan tulis skema sistem
reproduksi reproduksi
·
Selanjutnya guru meminta siswanya bekerja dalam kelompok dengan
menggunakan benda-benda konkret yang dimilikinya untuk menggambarkan beragam
cara reproduksi pada jenis-jenis tertentu mahluk hidup
·
Guru bertanya kepada siswa, ada berapakah penggolongan sistem
reproduksi? Biarkan siswa bekerja sendiri-sendiri atau bekerja di kelompoknya
untuk menjawab soal tersebut.
·
Ada dua kemungkinan jawaban siswa atau kelompok siswayaitu
berupa sistem reproduksi vegetatif dan sistem reproduksi generative
·
Guru memberi kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk
melaporkan cara mereka mendapatkan hasilnya. Diskusikan juga, yang mana dari
dua cara reproduksi tersebut yang benar pada sistem reproduksi manusia
·
Selanjutnya Guru memberi soal, para siswa masih boleh
menggunakan buku panduan untuk mencari jawabannya. Bagi siswa yang masih
menggunakan
·
Pada tahap terakhir Guru memberi soal tambahan seperti. Para
siswa dianjurkan agar tidak menggunakan buku panduan
C. Humanistik
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah
untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Peran guru dalam teori
ini adalah sebagai fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi,kesadaran mengenai makna kehidupan siswa. Guru mamfasilitasi
pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan
pembelajaran. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia
mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik- baiknya. Siswa berperan sebagai
pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Tujuan utama
para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam
diri mereka.
Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada
proses belajar, ialah :
v Proses
pemerolehan informasi baru,
v Personalia
informasi ini pada individu. Tokoh penting dalam teori belajar humanistik
secara teoritik antara lain adalah
1. Teori
Humanistik menurut ahli
·
Teori Belajar Menurut Arthur Combs
(1912-1999)
Bersama
dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia
pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering
digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa
memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan
mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi
karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan
penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain
hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
memberikan kepuasan baginya.
Untuk
itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi
siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha
merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan
seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan
dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun
dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi
pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk
memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan
menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs
memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran
(besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah
gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia.
Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang
pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan
dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
·
Teori Belajar Menurut Abraham H. Maslow
(1908-1970)
Maslow
mengatakan, mengatakan bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh
setiap manusia yang siratnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan dimulai dari
kebutuhan terendah, selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi.
Kebutuhan tersebut adalah. : Kebutuhan jasmaniah, Kebutuhan keamanan, Kebutuhan
kasih sayang, Kebutuhan harga diri, Kebutuhan aktualisasi diri.
Hierarki
kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang
harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan
bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan
dasar si siswa belum terpenuhi. Lebih jauh Maslow mengatakan, hierarki
kebutuhan manusia tersebut mempunyai implikasi penting bagi individu peserta
didik. Oleh karenanya, pendidik harus memerhatikan kebutuhan peserta didik
sewaktu beraktivitas di dalam kelas. Seorang pendidik dituntut memahami kondisi
tertentu, misalnya, ada peserta didik tertentu yang sering tidak mengerjakan
pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat
belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat
berkembang jika kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang datang
ke sekolah tanpa persiapan, atau tidak dapat tidur nyenyak, atau membawa
persoalan pribadi, cemas atau takut, akan memiliki daya motivasi yang tidak
optimal, sebab persoalan-persoalan yang dibawanya akan mengganggu kondisi ideal
yang dia butuhkan.
·
Teori Belajar Menurut Carl Ransom Rogers
(1902-1987)
Carl
Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling
menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu
individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Carl Rogers menyakini bahwa
berbagai masukan yang ada pada diri seseorang tentang dunianya sesuai dengan
pengalaman pribadinya. Masukan-masukan ini mengarahkannya secara mutlak ke arah
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dirinya. Rogers menegaskan, dalam pengembangan
diri seorang pribadi akan berusaha keras demi aktualisasi diri (self
actualisation), pemeliharaan diri (self maintenance), dan peningkatan diri
(self inhancement).
Rogers
membedakan dua tipe belajar, yaitu:
§ Kognitif
(kebermaknaan)
§ experiential (
pengalaman atau signifikansi)
Guru
menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential
Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas
belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal,
berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada
siswa.
Menurut
Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu: Menjadi manusia
berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar.Ø Siswa tidak harus belajar
tentang hal-hal yang tidak ada artinya. Siswa akan mempelajari hal-hal yang
bermakna bagi dirinya.ØPengorganisasian bahan pelajaran berarti
mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
v Pengorganisasian
bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa
v Belajar yang bermakna
dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
·
Charles Bouille (sekitar 1475-1553)
Charles
Bouille adalah seorang humanis Prancis, dalam bukunya yang berjudul De
Sapiente. Dalam buku ini dia mensejajarkan manusia yang cerdas dengan
Phyromitos. Kesejajaran ini terletak pada akal yang diberikan kepada manusia
agar bisa menyempurnakan tabiatnya. Dengan penelitian-penelitian teoritis yang
efektif, dan dengan keyakinannya yang ekstrim, Bouille mengupas soal kelayakan
dan kapabilitas manusia untuk membentuk kehidupannya sendiri di dunia.
Keyakinan inipun menjadi semakin tajam dengan kemajuan-kemajuan skeptisisme
yang dicapai humanisme di luar Italia pada abad pertengahan.
2. Tiga
Teori Behavioristik
Ada tiga jenis teori menurut teori behaviorisme yang
perlu di pelajari secara mendalam sebagai seorang guru, yaitu teori Respondent
Conditioning, Operant Cnditioning, dan Observational Learning atau
Sosial-Cognitive Learning.
·
Teori Responden Learning
Dari
eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent
Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus
dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer),
maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent
Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah
diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
·
Operant Conditioning
Dari
eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap
burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant
conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant
extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses
conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber
(Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons
dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan
oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada
dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah
respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus
lainnya seperti dalam classical conditioning.
·
Observational Learning atau
Social-Cognitive Learning
Teori
belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah
teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar
lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang
Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond),
melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar
menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial
dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku
(modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan
perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya
masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik
ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan,
Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode
Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode
rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard
dengan teori pengurangan dorongan.
3. Contoh
pembelajaran humanistic
Menurut pendapat saya, pendidikan yang humanistik
adalah pendidikan yang mampu menyiapkan suasana setara. Suasana setara yang
dimaksudkan di sini adalah suasana ketika seseorang (murid, siswa, bangsa lain)
merasa nyaman karena dihargai (oleh guru, atasan, senior, tuan rumah). Tidak
ada indikasi pembedaan warna kulit, tingkatan ekonomi, status sosial, dalam
sebuah setting pendidikan. Lebih lanjut, pendidikan yang humanistik menekankan
pendekatan dari hati ke hati.
Contoh : kita bmengatakan kepada murid,”Belanda
adalah negara di Eropa yang paling akhir meninggalkan sistim "tangan
besi" dalam mendidik murid. kita mulai berubah ketika muncul kesadaran
bahwa anak didik perlu diperlakukan dengan kasih sayang. Pendekatan psikologis
ternyata memiliki peranan vital dalam perjalanan dunia pendidikan.
Contoh lain belajar humanisme:
•
guru akan menyampaikan materi mengenai sel, maka guru tesebut akan menanyakan
apa itu sel? Apa saja yang termasuk ke dalam sel dan sebagainya.
•
Dari pertanyaan tersebut guru memberikan kebebasan kepada muridnya untuk
mengemukakan pendapatnya dan guru mendorong siswa untuk berpikir kritis.
•
Siswa diberi kebebasan untuk melakukan eksperimen yang ingin ia pelajari.
Dengan demikian siswa didorong untuk memilih pilihannya sendiri. Melakukan apa
yang diinginkan dan menanggng resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
•
Guru mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau
proses belajarnya dengan tidak menilai secara normative apa yang siswa lakukan.
•
Setelah itu guru dapat berdiskusi atau berdialog dengan siswa tersebut.
Sistem pembelajaran yang humanistic
Ibarat
sebuah kapal, lembaga pendidikan (apa pun visi dan misinya) tentu memiliki arah
dan tujuan yang jelas. Di mana-mana menjamur berbagai lembaga pendidikan dengan
latar belakang yang beragam jika dilihat dari namanya. Ada yang terkesan
nasionalis karena memakai label negeri, ada pula yang terkesan religius karena
memasang nama agama di belakangnya, seperti SMAK (Sekolah Menengah Atas
Katolik), UII (Universitas Islam Indonesia), dan sebagainya.
Namun demikian, konteks lembaga pendidikan tersebut
sebetulnya tidak bisa ditebak hanya dengan membaca kover luarnya saja. Perlu
penelitian lebih lanjut, apakah sekolah itu benar-benar mengajarkan nilai-nilai
Kristiani karena memakai nama Katolik? Apakah universitas tersebut benar-benar
kumpulan orang Muslim karena memakai nama Islam?
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan itu, secara
universal, apa pun nama dan bentuk lembaga pendidikan tersebut, perlu diterapkan
beberapa elemen berikut ini :
1. Partisipasi. Dalam dunia pendidikan, partisipasi
mampu menghidupkan suasana yang interaktif. Dua belah pihak, guru dan siswa,
perlu saling peduli, saling sharing, melakukan negosiasi, dan sama-sama
bertanggung jawab atas proses dan output pendidikan. Hal ini penting agar di
akhir tahun, ketika terjadi kegagalan studi, maka tidak terjadi saling tuding
antara para pihak yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan (guru,
siswa, orangtua siswa, ahli kurikulum, NGO, dan masyarakat luas).
2. Integrasi. Di sini, perlu ditekankan interaksi,
interpenetrasi, serta integrasi pemikiran, perasaan dan tindakan. Membangun
manusia yang seutuhnya berarti membangun manusia yang konsisten dalam ketiga
hal tersebut
3. Keterkaitan. Bahwa materi yang diajarkan perlu
memiliki hubungan yang erat dengan kebutuhan hidup dasar peserta didik serta
berpengaruh nyata untuk mereka, baik secara emosional maupun secara
intelektual.
4.Transparansi dalam menyampaikan tujuan
pembelajaran. Para siswa pun berhak mengetahui bahwa pada akhir pelajaran,
mereka harus memahami hal-hal tertentu yang mampu meningkatkan pengetahuan
mereka. Dari sini, semakin nyata bahwa siswa perlu tahu ke mana mereka
diarahkan dalam sebuah pelajaran. Banyak guru kurang menekankan bagian ini, dan
langsung masuk ke "inti" pembahasan, padahal hal ikhwal menjelaskan
tujuan adalah termasuk hal "inti" pula.
5. Terakhir, tentu saja tujuan sosial dari
pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah sarana menyiapkan manusia untuk
untuk berkarya dalam masyarakat, maka pendidikan perlu menekankan penempaan
akal dan mental peserta didik, agar mampu menjadi sosok intelektual yang
berbudaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar